El Pueblo Cafe
Lokasi utama FKY 2010
Mural dirayakan
Hari ni bertanggal 25 Jun 2010 dan berhari jumaat dan pastinya bagi yang Muslim terutama laki-laki akan jumaatan atau dalam bahasa lokal Malaysia, bersolat jumaat. Itu sekadar fakta.
Usai berborak2 dalam keadaan penat dan mata tidak fokus, aku masuk tidur kira-kira jam 8 pagi dengan harapan bisa bangkit sekitar jam 11 pagi dan ternyata terbabas sedikit hasilnya, lumayan masih dalam koridor disiplin yang baik. Segera siap-siap, aku dan Yoshi bergerak menuju ke tempat menyewa motor untuk kegunaan aku dan Vovin seharian di Jogja. Berkat pertolongan Yoshi, kadar sewa yang dikenakan hanya berangka rupiah 25,000 per hari - jauh dari harga untuk pelancong (65,000 rupiah) dan harga di daerah pelancong tegar, Malioboro yang bisa mencapai 100,000 ke 150,000 rupiah.
Bebekalkan motor Honda Superlift berkelajuan 4 gear berwarna hitam, skil rempit KL aku kurang teruji kerana kelembapan arus kenderaan di sini - jauh berbeza dengan kegopohan Bandung dan pastinya Jakarta. Sesudah mendapat motor, Yoshi ke tempat kerjanya, IVAA meninggalkan aku sendirian untuk pulang ke rumah yang letaknya 10km dan berkat anugerah Tuhan yang memberikan aku skil menghafal dan peduli jalan-jalan di mana2, maka sampailah aku di KM9, Jalan Godean untuk mengambil Vovin yang sabar menunggu bertemankan internet wi-fi. Berbanding bandar-bandar lain di Indonesia, aku merasakan Jogja adalah yang paling mudah untuk dihafal susun aturnya - terima kasih kepada Kraton. Apa itu Kraton? Sila google dan hadam sendiri.
Ini merupakan kali ketiga aku memijak kaki di bumi yang penuh dengan seni budaya, adat istiadat Jawa dan Kraton sebagai suatu 'institusi' atau 'tatacara' kehidupan Raja yang bersusur galur dari kerajaan Mataram. Kota Jogja memang unik dan tidak membosankan jika anda meminati seni budaya versi yang tidak 'diasing-asingkan' di dalam kehidupan masyarakat. Bahkan aku secara peribadi sukar untuk membuat pilihan seandainya ditakdirkan menjadi rakyat Indoensia; Jakarta? Bandung? Bali? Jogja? - setiap kota sangat unik dengan karakter tersendiri baik seni budayanya mahupun cewek-ceweknya.
Ok
Destinasi pertama - membeli tiket van atau travel ke Bromo
Menuju arah Tugu, kami berhenti di seberang jalan yang kelihatan banyak ajen travel ke merata kota seluruh Indonesia dan setelah membanding-banding pro dan kontra, kami memilih untuk membeli tiket terus ke Bromo yang akan ditempuh selama 12 jam pada hari Isnin pagi dengan kos 180,000 rupiah.
Destinasi kedua - Festival Kesenian Yogyakarta di Benteng Vredeburg dan sekitar Malioboro
Beruntung tatkala aku di sini sedang berlangsung festival ini yang dilangsungkan setiap tahun dan sudah memasuki edisi yang ke 22. FKY merupakan acara yang digelar bersama jabatan kebudayaan kota Jogja bersama seniman-seniman muda tua dan menjadi gerakan kebudayaan Jogja yang sangat berpengaruh. Menurut Yoshi yang turut bergabung menjadi penyelenggara FKY 2008, FKY sempat diambil alih kelompok seniman independen pada 2008 dan 2009 sewaktu pemerintah seperti terlupa untuk membikinnya. Nah, apa yang pasti FKY 2010 yang aku sempat kunjungi tadi bersifat sedikit monothone dan ini dibenarkan Yoshi yang berkata penyelenggara FKY 2010 tidak melibatkan penyertaan komuniti lintas genre secara menyeluruh, sebaliknya hanya memanggil kumpulan/persembahan untuk membuat persembahan dan kemudian bayar dan itu sahaja.
Setelah merasa biasa2, kami jalan2 sekitar Malioboro kerana pemotret rasmi Vovin harus mengklik kameranya. Musim cuti sekolah di Indonesia sangat dirasai di sini dengan banyak sekali bas2 pelancong dan persiaran siar kaki juga padat dengan manusia bukan Jawa. Berkat mengakses facebook sebelum keluar tadi, Adzreen isterinya Ebrahim sempat memberi komen di status membilang yang dia juga di Jogja. Seperti di dalam skrip filem, pertemuan sambil makan kerana kelaparan terjadi dengan mudah berlokasi di sebuah mall di tengah2 Malioboro. Cuma sekadar info, Adzreen baru sahaja selesai berbengkel media di kota Malang. Tak lama kemudian Yoshi datang untuk mengambil kunci rumah yang berada pada aku seterusnya melepakkan diri juga walau aku tahu Yoshi ini kurang gemar lepak, haha.
Destinasi ketiga - El Pueblo Cafe
Kafe bernuansa kiri ini sangat menarik dari segi desain dan konsep walau lokasi agak 'out' - kiri yang ada citarasa dan ketelitian tidak seperti banyak teman2 kiri di Malaysia yang sangat2 propagandis dengan tangan tergenggam di udara dan warna merah yang klise, buatlah warna merah jambu atau ungu ke. Tidak ada tamu lain selain aku dan Vovin dan kemudian Adzreen dan temannya, Iza serta sebuah skrin layar bervisualkan aksi Piala Dunia, Brazil melawan Portugal - aneh juga kerana aksi Korea Utara rakan seperjuangan yang beraksi pada masa yang sama dikesampingkan. Sejam setelah perlawanan berlangsung, salah satu pendiri kafe ini Mas Bowo datang untuk berkenal-kenal setelah berita kedatangan aku berjaya dikhabarkan. Menurut Mas Bowo yang aktif sebagai advokat untuk TKI Indonesia di Malaysia, kafe yang didirikan Februari tahun ini memakan belanja sekitar RM40,000 ribu dan bagi aku, angka kecil dengan hasil yang lumayan (di M'sia maksudnya seperti 'agak') impresif juga. Tak lama kemudian teman dari Bali yang sedang sibuk menjadi koordinator pertukaran pelajar sebuah universiti di Amerika-Indonesia, Termana muncul dan seperti lazim, topik perbualan menjadi semakin menarik dan intrig - dari isu TKI, sastera Indonesia, politik Indonesia dan macam2 lagi.
Terima kasih kepada Bilven yang memperkenalkan kafe ini kepada aku semasa di Bandung dan 3 Julai nanti akan berlangsung pelancaran 12 buah buku secara serentak yang bertemakan tragedi 65 terbitan Ultimus. Seperti di Malaysia, isu 'kudeta' atau Gerakan 30 September ini masih sensitif walau ruang sudah dibuka dan aku sedang berkira2 untuk membikin acara 'regu dua 6', kombinasi persitiwa 65 di sini dan 69 di Malaysia
Jam 12.30 tengah malam waktu Jogja, kami berangkat pulang melewati Jalan Lingkaran Barat dengan jiwa sadar bahawa sedang maraknya berita tentang perompakan dan pembunuhan di waktu malam di sini, entah adakah media melebih-lebih atau apa - pokoknya harus hati-hati seperti biasa.
Pedoman kata hari 12:
"Kampung adalah basis dari kota. Kekuatan kota Jogjakarta terletak pada kampung-kampung yang mengitarinya. Sehingga memerkuat identitas kampung, melibatkan kampung dalam kepentingan publik, merupakan hal yang penting untuk menopang kota secara keseluruhan. Pada titik inilah seni merupakan salah satu elemen yang memungkin warga dapat disertakan untuk membentuk kampungnya dengan semangat yang positif dan damai. Bukannya tidak mungkin, bermula dari Sign Art ini, maka kampung bisa menjadi basis bagi industri kratif di Jogjakarta. Sign art kampung yang unik ini bisa diperkecil ukurannya dan fungsinya diubah menjadi suvenir yang siap diual. Memperkuat ekonomi kampung dengan mengembangkan industri kreatif merupakan tantangan selanjutnya yang bisa dipikirkan bersama" - Samuel Indratma, Koordinator Jogja Mural Forum
Usai berborak2 dalam keadaan penat dan mata tidak fokus, aku masuk tidur kira-kira jam 8 pagi dengan harapan bisa bangkit sekitar jam 11 pagi dan ternyata terbabas sedikit hasilnya, lumayan masih dalam koridor disiplin yang baik. Segera siap-siap, aku dan Yoshi bergerak menuju ke tempat menyewa motor untuk kegunaan aku dan Vovin seharian di Jogja. Berkat pertolongan Yoshi, kadar sewa yang dikenakan hanya berangka rupiah 25,000 per hari - jauh dari harga untuk pelancong (65,000 rupiah) dan harga di daerah pelancong tegar, Malioboro yang bisa mencapai 100,000 ke 150,000 rupiah.
Bebekalkan motor Honda Superlift berkelajuan 4 gear berwarna hitam, skil rempit KL aku kurang teruji kerana kelembapan arus kenderaan di sini - jauh berbeza dengan kegopohan Bandung dan pastinya Jakarta. Sesudah mendapat motor, Yoshi ke tempat kerjanya, IVAA meninggalkan aku sendirian untuk pulang ke rumah yang letaknya 10km dan berkat anugerah Tuhan yang memberikan aku skil menghafal dan peduli jalan-jalan di mana2, maka sampailah aku di KM9, Jalan Godean untuk mengambil Vovin yang sabar menunggu bertemankan internet wi-fi. Berbanding bandar-bandar lain di Indonesia, aku merasakan Jogja adalah yang paling mudah untuk dihafal susun aturnya - terima kasih kepada Kraton. Apa itu Kraton? Sila google dan hadam sendiri.
Ini merupakan kali ketiga aku memijak kaki di bumi yang penuh dengan seni budaya, adat istiadat Jawa dan Kraton sebagai suatu 'institusi' atau 'tatacara' kehidupan Raja yang bersusur galur dari kerajaan Mataram. Kota Jogja memang unik dan tidak membosankan jika anda meminati seni budaya versi yang tidak 'diasing-asingkan' di dalam kehidupan masyarakat. Bahkan aku secara peribadi sukar untuk membuat pilihan seandainya ditakdirkan menjadi rakyat Indoensia; Jakarta? Bandung? Bali? Jogja? - setiap kota sangat unik dengan karakter tersendiri baik seni budayanya mahupun cewek-ceweknya.
Ok
Destinasi pertama - membeli tiket van atau travel ke Bromo
Menuju arah Tugu, kami berhenti di seberang jalan yang kelihatan banyak ajen travel ke merata kota seluruh Indonesia dan setelah membanding-banding pro dan kontra, kami memilih untuk membeli tiket terus ke Bromo yang akan ditempuh selama 12 jam pada hari Isnin pagi dengan kos 180,000 rupiah.
Destinasi kedua - Festival Kesenian Yogyakarta di Benteng Vredeburg dan sekitar Malioboro
Beruntung tatkala aku di sini sedang berlangsung festival ini yang dilangsungkan setiap tahun dan sudah memasuki edisi yang ke 22. FKY merupakan acara yang digelar bersama jabatan kebudayaan kota Jogja bersama seniman-seniman muda tua dan menjadi gerakan kebudayaan Jogja yang sangat berpengaruh. Menurut Yoshi yang turut bergabung menjadi penyelenggara FKY 2008, FKY sempat diambil alih kelompok seniman independen pada 2008 dan 2009 sewaktu pemerintah seperti terlupa untuk membikinnya. Nah, apa yang pasti FKY 2010 yang aku sempat kunjungi tadi bersifat sedikit monothone dan ini dibenarkan Yoshi yang berkata penyelenggara FKY 2010 tidak melibatkan penyertaan komuniti lintas genre secara menyeluruh, sebaliknya hanya memanggil kumpulan/persembahan untuk membuat persembahan dan kemudian bayar dan itu sahaja.
Setelah merasa biasa2, kami jalan2 sekitar Malioboro kerana pemotret rasmi Vovin harus mengklik kameranya. Musim cuti sekolah di Indonesia sangat dirasai di sini dengan banyak sekali bas2 pelancong dan persiaran siar kaki juga padat dengan manusia bukan Jawa. Berkat mengakses facebook sebelum keluar tadi, Adzreen isterinya Ebrahim sempat memberi komen di status membilang yang dia juga di Jogja. Seperti di dalam skrip filem, pertemuan sambil makan kerana kelaparan terjadi dengan mudah berlokasi di sebuah mall di tengah2 Malioboro. Cuma sekadar info, Adzreen baru sahaja selesai berbengkel media di kota Malang. Tak lama kemudian Yoshi datang untuk mengambil kunci rumah yang berada pada aku seterusnya melepakkan diri juga walau aku tahu Yoshi ini kurang gemar lepak, haha.
Destinasi ketiga - El Pueblo Cafe
Kafe bernuansa kiri ini sangat menarik dari segi desain dan konsep walau lokasi agak 'out' - kiri yang ada citarasa dan ketelitian tidak seperti banyak teman2 kiri di Malaysia yang sangat2 propagandis dengan tangan tergenggam di udara dan warna merah yang klise, buatlah warna merah jambu atau ungu ke. Tidak ada tamu lain selain aku dan Vovin dan kemudian Adzreen dan temannya, Iza serta sebuah skrin layar bervisualkan aksi Piala Dunia, Brazil melawan Portugal - aneh juga kerana aksi Korea Utara rakan seperjuangan yang beraksi pada masa yang sama dikesampingkan. Sejam setelah perlawanan berlangsung, salah satu pendiri kafe ini Mas Bowo datang untuk berkenal-kenal setelah berita kedatangan aku berjaya dikhabarkan. Menurut Mas Bowo yang aktif sebagai advokat untuk TKI Indonesia di Malaysia, kafe yang didirikan Februari tahun ini memakan belanja sekitar RM40,000 ribu dan bagi aku, angka kecil dengan hasil yang lumayan (di M'sia maksudnya seperti 'agak') impresif juga. Tak lama kemudian teman dari Bali yang sedang sibuk menjadi koordinator pertukaran pelajar sebuah universiti di Amerika-Indonesia, Termana muncul dan seperti lazim, topik perbualan menjadi semakin menarik dan intrig - dari isu TKI, sastera Indonesia, politik Indonesia dan macam2 lagi.
Terima kasih kepada Bilven yang memperkenalkan kafe ini kepada aku semasa di Bandung dan 3 Julai nanti akan berlangsung pelancaran 12 buah buku secara serentak yang bertemakan tragedi 65 terbitan Ultimus. Seperti di Malaysia, isu 'kudeta' atau Gerakan 30 September ini masih sensitif walau ruang sudah dibuka dan aku sedang berkira2 untuk membikin acara 'regu dua 6', kombinasi persitiwa 65 di sini dan 69 di Malaysia
Jam 12.30 tengah malam waktu Jogja, kami berangkat pulang melewati Jalan Lingkaran Barat dengan jiwa sadar bahawa sedang maraknya berita tentang perompakan dan pembunuhan di waktu malam di sini, entah adakah media melebih-lebih atau apa - pokoknya harus hati-hati seperti biasa.
Pedoman kata hari 12:
"Kampung adalah basis dari kota. Kekuatan kota Jogjakarta terletak pada kampung-kampung yang mengitarinya. Sehingga memerkuat identitas kampung, melibatkan kampung dalam kepentingan publik, merupakan hal yang penting untuk menopang kota secara keseluruhan. Pada titik inilah seni merupakan salah satu elemen yang memungkin warga dapat disertakan untuk membentuk kampungnya dengan semangat yang positif dan damai. Bukannya tidak mungkin, bermula dari Sign Art ini, maka kampung bisa menjadi basis bagi industri kratif di Jogjakarta. Sign art kampung yang unik ini bisa diperkecil ukurannya dan fungsinya diubah menjadi suvenir yang siap diual. Memperkuat ekonomi kampung dengan mengembangkan industri kreatif merupakan tantangan selanjutnya yang bisa dipikirkan bersama" - Samuel Indratma, Koordinator Jogja Mural Forum
pasca-pedoman - kampung2 kita di Malaysia awalnya harus dibebaskan dari pengaruh pembodohan politik UMNO, PAS, PKR dan lain-lain. Ayuh dong tanpa parti politik kita masih boleh hidup.
Aku rindu Jogja. Dah 6 tahun tak ke situ...dan masa di situ aku duduk di Malioboro :)
ReplyDelete