Saturday, June 26, 2010

Hari 12: Saiki lagi ning Yogya

El Pueblo Cafe

Lokasi utama FKY 2010


Mural dirayakan


Hari ni bertanggal 25 Jun 2010 dan berhari jumaat dan pastinya bagi yang Muslim terutama laki-laki akan jumaatan atau dalam bahasa lokal Malaysia, bersolat jumaat. Itu sekadar fakta.

Usai berborak2 dalam keadaan penat dan mata tidak fokus, aku masuk tidur kira-kira jam 8 pagi dengan harapan bisa bangkit sekitar jam 11 pagi dan ternyata terbabas sedikit hasilnya, lumayan masih dalam koridor disiplin yang baik. Segera siap-siap, aku dan Yoshi bergerak menuju ke tempat menyewa motor untuk kegunaan aku dan Vovin seharian di Jogja. Berkat pertolongan Yoshi, kadar sewa yang dikenakan hanya berangka rupiah 25,000 per hari - jauh dari harga untuk pelancong (65,000 rupiah) dan harga di daerah pelancong tegar, Malioboro yang bisa mencapai 100,000 ke 150,000 rupiah.

Bebekalkan motor Honda Superlift berkelajuan 4 gear berwarna hitam, skil rempit KL aku kurang teruji kerana kelembapan arus kenderaan di sini - jauh berbeza dengan kegopohan Bandung dan pastinya Jakarta. Sesudah mendapat motor, Yoshi ke tempat kerjanya, IVAA meninggalkan aku sendirian untuk pulang ke rumah yang letaknya 10km dan berkat anugerah Tuhan yang memberikan aku skil menghafal dan peduli jalan-jalan di mana2, maka sampailah aku di KM9, Jalan Godean untuk mengambil Vovin yang sabar menunggu bertemankan internet wi-fi. Berbanding bandar-bandar lain di Indonesia, aku merasakan Jogja adalah yang paling mudah untuk dihafal susun aturnya - terima kasih kepada Kraton. Apa itu Kraton? Sila google dan hadam sendiri.

Ini merupakan kali ketiga aku memijak kaki di bumi yang penuh dengan seni budaya, adat istiadat Jawa dan Kraton sebagai suatu 'institusi' atau 'tatacara' kehidupan Raja yang bersusur galur dari kerajaan Mataram. Kota Jogja memang unik dan tidak membosankan jika anda meminati seni budaya versi yang tidak 'diasing-asingkan' di dalam kehidupan masyarakat. Bahkan aku secara peribadi sukar untuk membuat pilihan seandainya ditakdirkan menjadi rakyat Indoensia; Jakarta? Bandung? Bali? Jogja? - setiap kota sangat unik dengan karakter tersendiri baik seni budayanya mahupun cewek-ceweknya.

Ok

Destinasi pertama - membeli tiket van atau travel ke Bromo

Menuju arah Tugu, kami berhenti di seberang jalan yang kelihatan banyak ajen travel ke merata kota seluruh Indonesia dan setelah membanding-banding pro dan kontra, kami memilih untuk membeli tiket terus ke Bromo yang akan ditempuh selama 12 jam pada hari Isnin pagi dengan kos 180,000 rupiah.

Destinasi kedua - Festival Kesenian Yogyakarta di Benteng Vredeburg dan sekitar Malioboro

Beruntung tatkala aku di sini sedang berlangsung festival ini yang dilangsungkan setiap tahun dan sudah memasuki edisi yang ke 22. FKY merupakan acara yang digelar bersama jabatan kebudayaan kota Jogja bersama seniman-seniman muda tua dan menjadi gerakan kebudayaan Jogja yang sangat berpengaruh. Menurut Yoshi yang turut bergabung menjadi penyelenggara FKY 2008, FKY sempat diambil alih kelompok seniman independen pada 2008 dan 2009 sewaktu pemerintah seperti terlupa untuk membikinnya. Nah, apa yang pasti FKY 2010 yang aku sempat kunjungi tadi bersifat sedikit monothone dan ini dibenarkan Yoshi yang berkata penyelenggara FKY 2010 tidak melibatkan penyertaan komuniti lintas genre secara menyeluruh, sebaliknya hanya memanggil kumpulan/persembahan untuk membuat persembahan dan kemudian bayar dan itu sahaja.

Setelah merasa biasa2, kami jalan2 sekitar Malioboro kerana pemotret rasmi Vovin harus mengklik kameranya. Musim cuti sekolah di Indonesia sangat dirasai di sini dengan banyak sekali bas2 pelancong dan persiaran siar kaki juga padat dengan manusia bukan Jawa. Berkat mengakses facebook sebelum keluar tadi, Adzreen isterinya Ebrahim sempat memberi komen di status membilang yang dia juga di Jogja. Seperti di dalam skrip filem, pertemuan sambil makan kerana kelaparan terjadi dengan mudah berlokasi di sebuah mall di tengah2 Malioboro. Cuma sekadar info, Adzreen baru sahaja selesai berbengkel media di kota Malang. Tak lama kemudian Yoshi datang untuk mengambil kunci rumah yang berada pada aku seterusnya melepakkan diri juga walau aku tahu Yoshi ini kurang gemar lepak, haha.

Destinasi ketiga - El Pueblo Cafe

Kafe bernuansa kiri ini sangat menarik dari segi desain dan konsep walau lokasi agak 'out' - kiri yang ada citarasa dan ketelitian tidak seperti banyak teman2 kiri di Malaysia yang sangat2 propagandis dengan tangan tergenggam di udara dan warna merah yang klise, buatlah warna merah jambu atau ungu ke. Tidak ada tamu lain selain aku dan Vovin dan kemudian Adzreen dan temannya, Iza serta sebuah skrin layar bervisualkan aksi Piala Dunia, Brazil melawan Portugal - aneh juga kerana aksi Korea Utara rakan seperjuangan yang beraksi pada masa yang sama dikesampingkan. Sejam setelah perlawanan berlangsung, salah satu pendiri kafe ini Mas Bowo datang untuk berkenal-kenal setelah berita kedatangan aku berjaya dikhabarkan. Menurut Mas Bowo yang aktif sebagai advokat untuk TKI Indonesia di Malaysia, kafe yang didirikan Februari tahun ini memakan belanja sekitar RM40,000 ribu dan bagi aku, angka kecil dengan hasil yang lumayan (di M'sia maksudnya seperti 'agak') impresif juga. Tak lama kemudian teman dari Bali yang sedang sibuk menjadi koordinator pertukaran pelajar sebuah universiti di Amerika-Indonesia, Termana muncul dan seperti lazim, topik perbualan menjadi semakin menarik dan intrig - dari isu TKI, sastera Indonesia, politik Indonesia dan macam2 lagi.

Terima kasih kepada Bilven yang memperkenalkan kafe ini kepada aku semasa di Bandung dan 3 Julai nanti akan berlangsung pelancaran 12 buah buku secara serentak yang bertemakan tragedi 65 terbitan Ultimus. Seperti di Malaysia, isu 'kudeta' atau Gerakan 30 September ini masih sensitif walau ruang sudah dibuka dan aku sedang berkira2 untuk membikin acara 'regu dua 6', kombinasi persitiwa 65 di sini dan 69 di Malaysia

Jam 12.30 tengah malam waktu Jogja, kami berangkat pulang melewati Jalan Lingkaran Barat dengan jiwa sadar bahawa sedang maraknya berita tentang perompakan dan pembunuhan di waktu malam di sini, entah adakah media melebih-lebih atau apa - pokoknya harus hati-hati seperti biasa.

Pedoman kata hari 12:

"Kampung adalah basis dari kota. Kekuatan kota Jogjakarta terletak pada kampung-kampung yang mengitarinya. Sehingga memerkuat identitas kampung, melibatkan kampung dalam kepentingan publik, merupakan hal yang penting untuk menopang kota secara keseluruhan. Pada titik inilah seni merupakan salah satu elemen yang memungkin warga dapat disertakan untuk membentuk kampungnya dengan semangat yang positif dan damai. Bukannya tidak mungkin, bermula dari Sign Art ini, maka kampung bisa menjadi basis bagi industri kratif di Jogjakarta. Sign art kampung yang unik ini bisa diperkecil ukurannya dan fungsinya diubah menjadi suvenir yang siap diual. Memperkuat ekonomi kampung dengan mengembangkan industri kreatif merupakan tantangan selanjutnya yang bisa dipikirkan bersama" - Samuel Indratma, Koordinator Jogja Mural Forum

pasca-pedoman - kampung2 kita di Malaysia awalnya harus dibebaskan dari pengaruh pembodohan politik UMNO, PAS, PKR dan lain-lain. Ayuh dong tanpa parti politik kita masih boleh hidup.

Friday, June 25, 2010

Hari 11: Tahniah Akiho Yoshizawa!

Dimulakan dengan bismillah

Hampir siang aku berjaya bangkit dari kepenatan untuk meneruskan perjalanan hari sabalas untuk bangsa nusantara. Oh rencana hari ini apa ya? mahu ke factory oulet yang berlurusan wujudnya di jalan dago atau rumah mode di setiabudi? ah persetan itu semua kerana agak janggal kalau aku yang tidak kaya ini memakai seluar jeans berjenama alfred dunhill yang sangat mutu dan unggul itu. Hmm, anjir sekali nasib orang Malaysia yang berduyun-duyun ke sana kerana sudah mulai maraknya produk palsu atas nama jenama tertentu demi melayani kebutuhan rakyat Malaysia.




koleksi dvd Kineruku yang berbasis di Rumah Buku

Destinasi tujuan pertama hari khamis, 24 juni adalah Rumah Buku/Kineruku yang terletak di Jalan Hegarmanah, tidak jauh dari Rumah Mode. Pemeriksaan mendadak atau cidak istilah popularnya di sini mengejutkan tuan punya rumah, Ariani dan syukur tiada kesalahan hukum dipertemukan dan tiada juga koleksi video mesum (porno) Ariel atau anak2 SMA dan mahasiswa lain di ruangan video. Alhamdulillah!

Rumah Buku ini sangat aku sukai konsepnya (harap2 Rumah Frinjan dapat dikembangkan seperti ini di satu lokasi yang nyaman datang) kerana menggabungkan toko kecil, perpustakaan buku dan filem serta kafe dan yang paling menarik sekali, laman di belakang agak luas dengan rumput menghijau yang segar fisik apabila eksis di situ. Di laman ini sering diadakan tayangan filem dan setakat ini filem Fahmi Reza, 10 Tahun Sebelum Merdeka dan Liew Seng Tat, Flower in the Pocket pernah ditayangkan di sini tahun lepas. Pada kunjungan lepas aku sempat memberi dan bertukar2 beberapa judul buku untuk dikoleksi mereka dan kali ini buku zine Jargon dan Stabil karya Fared Ayam aku hadiahi untuk mengeratkan silaturahmi sastera serumpun. Kebetulan ada seorang editor, penulis dan publisis bebas bernama Anwar Holid yang sedang nongkrong di situ, maka sempatlah bertukar2 cerita sebentar.


Boss Ultimus bergaya khas khusus untuk Ayam

Sesudah itu, kami pantas menuju ke Ultimus, penerbit buku aliran kiri yang 'digeruni' dan 'dibenci' organisasi massa anti komunis di Indonesia. Bertemu orang kuat Ultimus, Bilven berkongsi-kongsi cerita dari politik kiri sehinggalah ke Acha sebelum sempat terjadi tabrakan (kemalangan) di luar kantor Ultimus sehingga mengakibatkan seorang cewek luka-luka di muka, takziah. Bercerita tentang trafik di Bandung memang mengerikan juga, kadar kelajuan kenderaan dilihat semakin pantas dan gopoh tidak seperti awal2 kedatangan aku ke Bandung beberapa tahun lepas dan sangat wajib untuk bersiap siaga menjangka kecelakaan - kaki Vovin sempat tersepit2 di celah2 kenderaan yang hanya memberi ruang sempit untuk motor, maka bersyukurlah mat2 rempit di Malaysia yang lubangnya lebih luas. Aku tidak lama di sini kerana harus bersiap2 untuk berangkat ke stasiun keretapi api jadwal jan delapan malam ke Jogja, kota perlahan dan Insya Allah aku akan ke sini lagi tanggal 5 Julai untuk diskusi panjang dan setelah dibelanja makan kerana kelaparan, kami berangkat pulang ke rumah tumpangan kami di Tubagus Ismail, mirip2 Taman Tun Dr. Ismail.



Siap-siap selesai, kami dihantar ke stasiun oleh Aris ditemani Amien dan ceweknya mungkin :) serta diiringi lagu runut bunyi bergenre nasyid 'Doa Perpisahan' nyanyian Brothers. Kami menaiki keretapi Lodaya Malam kelas bisnes tidak berhawa dingin yang berharga 100,000 rupiah (RM36) dan perjalanan ke Jogja akan mengambil masa 8 jam. Malang sekali apabila teman seks telinga aku bernama Sony kehabisan bateri sekaligus memaksa aku membaca dan menelaah semua halaman akhbar Kompas dan Koran Tempo yang aku beli sebelumnya dan berkongsi curhat (curahan hati) kepada Vovin isu-isu semasa, suka dan seni budaya serta sedikit awek, haha.

Oleh kerana bimbang tersasar ke Solo, kami tetap setia membuka mata dan syukur jam 4.15 pagi kami sampai di stasiun Tugu Yogya dengan jaya sekali. Mengikut cadangan Yoshi, kami mampir minum kopi dan makan nasi kerana kelaparan di Twin Cafe sambil merasa gembira atas keberhasilan negara Akiho Yoshizawa yang lolos ke pusingan kedua. Jam delima lebih, kami menaiki teksi ke markas bukan teroris kami di Jogja, sebuah rumah sederhana di perumahan Kembang Asri di KM9 Godean milik Yoshi.

Disudahi dengan Alhamdulillah.

Wednesday, June 23, 2010

Hari 10: Luna Maya atau Juliana Evans?

Pantas sungguh waktu berlalu, sedar dan tidak sedar sudah 10 hari. Maka untuk meraikan hari ke 10 aku dan Vovin menyambutnya untuk makwe2 di seluruh nusantara di Bandung, kota kembang yang dingin pro-senggama. Latar dingin kota Bandung sangat khas sehingga melahirkan Ariel yang digosipin hebat di ranjang sehingga ramai cewek2 selebriti pengen menikmati sendiri khabar gembira itu.

Alhamdulillah aku dikurniakan motorsikal milik Lee Shok Sean merangkap kekasih abang kandung aku yang masih eksis di sini seterusnya memudahkan untuk ke mana-mana, terima kasih kepada Danny yang menjaganya. Ok, sesaat mendapat kunci motorsikal aksi lagak ngeri celah mencelah tak ingat bahaya nanti nahas tanggungnya berat sudah bermula demi penyatuan rempit Indonesia-Malaysia.

Sesudah berwarnet, kami makan siang di luar kampus Universitas Padjajaran (UNPAD)di Dipatiukur dengan niat baik mengusha awek2 UNPAD yang cantik dan bijak untuk diarielkan. Malangnya sekarang lagi musim libur, maka hanya makcik penjual nasi dan dua anak kecil perempuannya sahaja yang kelihatan. Tamat kami ke stasiun kereta api untuk membeli tiket ke Jogja besoknya.

Setelah itu bermulalah pengembaraan Upin dan Ipin ke kota Lembang yang dingin dan sesuai untuk pacaran dan berbulan madu. Banyak juga cewek di sini, tinggal hanya memilih kalau mahu. Setelah sebentar di Lembang, aku memutuskan untuk melewati jalan lain untuk pulang dan bermulalah 'cuba dan redah' melewati desa-desa indah di sekitar Lembang dan jirannya sebelum akhirnya berjaya mencari jalan pulang ke Bandung berkat pertolongan makcik yang baik.

Dari Cisaur, kami menuruni jalan lurus yang panjang sebelum sampai ke Kota Cimahi. Alang2 sudah di Cimahi aku menelefon Amir dari Angsa & Serigala bertanya di mana SMAN 13 Bandung yang akan mereka beraksi di Pesta Seni hari ini, malangnya acara sudah selesai dan melewati pulang kami terserempak juga dengan SMAN 13 sambil sempat terlihat beberapa ABG nongkrong di luar pagar sekolah yang cakep2 juga :)

Sampai di Bandung, aku sempat menggunting rambut yang cajnya sangat murah, 7000 rupiah (sekitar RM2.80) sebelum singgah di distro-distro di Trunojoyo melihat-lihat dan menyantap malam sekali. Di Bandung industri kreatif sangat besar dan antara penyumbang perekonomian yang tinggi kepada kota ini dan melihat anak2 muda mereka yang banyak memperagakan t-shirt, topi, jaket, dompet dll berjenama tempatan sangat menjustifikasikan itu. Mereka mengambil masa 15 tahun untuk ke sampai ke tahap ini dan menjadi harapan supaya label2 pakaian dan penggiat industri kreatif di Malaysia boleh mencontohi kejayaan Indonesia dan KREAM adalah satu langkah awal yang baik.

Bercerita tentang label pakaian tempatan, beberapa tahun lepas sempat di gig-gig bercambah pesat label2 seperti Blacksheep, The Brains, Durjana Clothing, Bima dan banyak lagi tetapi akhirnya banyak yang gulung tikar - mungkin bagi mereka hanya sekadar hobi bersifat tren. Manakala menurut aku pergerakan di Malaysia tidak didasari dengan semenagat independen, kolektif dan gerakan yang sebenar, banyak dari mereka sekadar main2 dan ada yang sekadar platform mencari awek dan glamer bodoh. Khabarnya 31 Julai dan 1 Ogos nanti di Padang Merbok akan berlangsung satu pesta pakaian yang dianjurkan oleh penggerak2 IICA Fest di Indonesia, 'kompetitor' kepada acara KICKFEST yang ramai dibilang di sini sebagai gerakan yang benar2 independen dan IICA Fest pula lebih bersifat keuntungan maksima. Politik clothing, hehe. Apapun tahniah kepada label The Brains yang tetap maju terus!

Selesai makan dan kemudian membeli CD album Homogenic yang tebaru, kami langsung pulang berehat2 sebelum diambil krew filem perusahaan radio, 'Langit di Balik Kaca' hasil skrip dari Vinca Callista yang sempat menulis satu novel berjudul, Ratu Callista Sang Panglima Laskar Onyx. Menurut Incha, filem ini dibuat khusus untuk ulang tahun radio yang dia menjadi dj kalau tak silap dan akan diputar selama seminggu di pawagam Blitz selama seminggu bermula 9 Oktober.

Sebelumnya sempat terjadi diskusi dan gosip panjang kasus Ariel dan Luna Maya/Cut Tari dengan 'pembicara utama', Araji vokalis Angsa & Serigala dan dalam diam2 aku semacam menanti juga video Juliana Evans dan Lisa Surihani, haha.

Bottlesmoker berlakon satu adegan di mana mereka membuat persembahan untuk pelakon utama dan tak semena-mena aku dan krew2 Bottlesmoker lain pun terpaksa menjadi pelakon tempelan. Kira-kira jam 3 pagi semuanya selesai. Sebelum tidur aku menghabisi hari dengan menonton sepak bola Serbia lwn Australia dan Jerman lwn Ghana dan pastinya menyantap Indo Mee kornet dan ah, tonton sebentar video Cut Tari dan anak SMA katanya. Kemudian baca doa tidur, selawat dan mengucap.

Tuesday, June 22, 2010

Hari 9: Bandung kotanya Ariel

Nomor sembilan hari dimulakan dengan rasa syukur kerna dikurniakan anugerah untuk terus hidup mendepani masalah bangsa ini :). Setelah mandi hadas dan berdoa untuk makan, aku, Vovin dan Yoga menuju ke Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Dewantara untuk mesyuarat menaiki kereta dan pastinya seperti biasa didahului dengan membaca doa naik kenderaan.

15 minit setelah itu kami sampai di STIE Dewantara dan Bapak Yoga yang juga pemilik sekolah swasta ini membawa kami tur keliling sekolah. Selain STIE Dewantara, di kompleks ini juga didirkan bangunan tadika dan sekolah dasar (SD) yang menurut aku impresif juga. Agak lucu apabila aku disalami dengan hormat oleh pelajar2 wanita SD, sepertinya aku ini berhubungan dekat dengan Bapak Yoga, haha. Menarik juga di SD ini ialah basisnya adalah Islam tetapi budaya Islam yang diterapkan agak terbuka dan tidak terlalu keras, bayangkan suasana di mana pelajar2 SD wanita bermain futsal di lapangan memakai tudung dan disaksikan pelajar2 lekaki, indah sekali!

Oh terlupa, satu hal yang menarik di Indonesia adalah hampir semua SMA (sekolah menengah atas) yang setaraf sekolah menengah pasca PMR di Malaysia 'diwajibkan' membikin acara Pesta Seni yang bersifat tahunan (ala-ala hari kantin). Di Pesta Seni, penganjur adalah di kalangan pelajar2 itu sendiri dan mereka sering mengundang band2 indie mahupun band2 besar sesuai bajet yang ada. Nah, ini sebenarnya yang membikin scene di Indonesia meriah dan relatif sentiasa muda kerana regenerasi itu menjadi budaya baik di pihak penggiat mahupun penganjur. Bila agaknya suasana ini boleh terjadi di Malaysia yang banyak dikuasai Islam garis keras di sekolah-sekolah, dan penganjur2 pula sentiasa orang-orang itu aja.

Setelah selesai mesyuarat tentang trip belajar mahasiswa STIE Dewantara ke Malaysia yang akan aku uruskan oktober nanti. Kami berangkat ke kota kembang atau kotanya Ariel Peterpan yang sedang menjadi tersangka kes pelanggaran UU Pornografi yang menurut aku berlebih-lebihan ditanggapi media dan masyarakat.

Sampai di Rumah Frinjan tidak rasmi Bandung di Tubagus Ismail, aku langsung tidur sebentar kerana masih kekurangan tidur dan kepenatan.

Bangun2 setelah hampir maghrib, kami siap2 dan ke warnet sebentar sebelum diambil Aris untuk ke sesi wawancara Bottlesmoker di Paramuda Radio pada jam 9 malam. Alang-alang aku sudah di sini, aku turut ditanya tentang scene muzik di Malaysia dan rencana tur Bottlesmoker ke Malaysia oktober mendatang. Alhamdulillah sempat aku memberi sedikit airtime percuma untuk Upin dan Ipin yang lagi terkenal di Indonesia sekarang, haha.

Bercerita tentang radio dan media lain di Indonesia menimbulkan rasa iri hati terhadap kebebasan yang dinikmati mereka. Tiada kekangan dan alasan bukan2 seperti yang sering diberi SKMM untuk membikin radio sendiri di Malaysia. Indonesia pasca-reformasi telah memeri kebebasan untuk siapa aja membuka radio sendiri selagi mana syarat2nya dipenuhi sehingga sampai sekarang frekuensi FM di Bandung sudah penuh. Moga2 seandainya Pakatan memerintah nanti ruang ini dibuka dan jika menang tetapi masih menutup, terimalah akibatnya nanti. Tunggu Frinjan FM ke udara nanti!

Sesudah wawancara selama sejam, kami menuju ke rumah makan ibu mas untuk menikmati makanan khas sunda dengan sambal yang dibilang terpedas di Bandung, "pedes sampai nangis". Satu hal yang menarik di Indonesia adalah rumah makannya dengan presentasi penyediaan makanan yang masih berseni dan melalui proses2 ketelitian yang seronok untuk ditonton, tidak cincai dan laju2 seperti di Malaysia.

Setelah itu singgah sebentar di Common Room, pot lepaknya anak2 muda kreatif Bandung. Tempat ini memang keren dan sering diadakan aktiviti2 menarik di sini, emangnya aku banyak jeles dengan Bandung.

Pedoman kata hari 9:

"Saya tidak pernah gagal akademik, tetapi percintaan itu sering ya" - Angkuy (personil Bottlesmoker saat diwawancara)

percintaan itu biasa-biasa aja, lagi2 cinta laki dan pompuan. tetapi percintaan dalam makna yang luas sangat wajib diraikan dan seandainya cinta hanya eksklusif untuk seorang manusia, maka itu menurutku tragedi kecurangan cinta yang paling tragis - Zulhabri Supian, Kota Ariel 23 Jun 2010

Wawancara bersama Acha di The Malaysian Insider

Bila Acha Septriasa berbicara politik

22 JUN — Siri temuramah pop politik ini dimulakan dengan selebriti terkenal dari Indonesia, Acha Septriasa yang popular dengan filem ‘Heart’ bergandingan dengan bekas kekasih, Irwansyah pada tahun 2006.

Acha masih menuntut di Limkokwing, Malaysia dalam jurusan komunikasi massa dan baru berumur 20 tahun dan pastinya tidak layak mengundi seandainya menjadi warga negara Malaysia. Wawancara penuh yang berlangsung 45 minit ini dibuat di rumah Acha di Tebet, Jakarta Selatan disaksikan ibu merangkap pengurus yang sangat baik dan di pertengahan wawancara ‘disuruh pergi’ kerana Acha malu-malu untuk berbicara politik di depan ibunya

Hasil sebahagian wawancara penuh ini telah dialih ke dalam Bahasa Melayu supaya boleh difahami pembaca di Malaysia dan Insya Allah maksud-maksud jawapan Acha tidak lari dari pengertiannya.

Sila klik di sini untuk membaca, selamat membaca!

Monday, June 21, 2010

Hari 8: Bogor

Kalau selalu hari dimulai dengan peristiwa bangun tidur, tetapi di zaman mukabuku semua itu boleh saja difikir ulang. Aku dan Vovin hanya memulakan hari ke lapan dengan aksi tidur jam 11 pagi setelah bersarapan roti dengan jem dan kopi susu, persis perangai aku sebelum sebulan yang lepas.

Jam 3 lebih aku gegabah bangun setelah menerima pesanan lewat telefon dari Yoga yang menulis sudah on the way dari Bogor ke Blok M. Siap2, check out, naik teksi dan makan nasi timbel ikan bawal di Plaza Blok M sementara menanti Yoga. Tak lama kemudian Yoga datang dan selesai santap, kami bergerak menuju ke Pondok Indah Mall 2 kerna Yoga ingin bertemu temannya. Sempat menghadam donut Krispy Kreme yang menurut aku walaupun bergelar cikgu donut, tetap kalah dengan J.co anak murid.

Rencana awal hari ini adalah menuju Bandung menaiki kereta api tetapi ditukar pada saat akhir kerana aku ingin mempercepatkan janjian bertemu Budy dari STE Dewantara berkaitan tur studi ke Malaysia yang dirancang akhir oktober nanti. Insya Allah aku akan bertindak sebagai juru lancong mereka nanti.

Perjalanan ke Bogor dari Pondok Indah yang dikendarai sopirnya bapak Yoga mengambil masa sejam dan disambut dengan hujan renyai-renyai pro-bersenggama. Hmm, Yoga ni sebenarnya abang kepada Aris, teman2 Bottlesmoker dan sering aku menumpang tidur di kosan (bilik) mereka setiap kali ke Bandung. Keluarga Yoga boleh dikategori ke dalam masyarakat menengah atas Indonesia dengan rumah yang besar dan di sinilah aku menyambut hari raya pertama aku tahun lepas. Orang tua mereka yang berasal dari Padang sangat baik sehingga aku yang tidak baik ini agak segan2.

Dijemput makan setelah rehat2 jap dan sesuai tradisi tidak pernah menolak, kami dijamu hidangan ayam goreng, sup ayam dan tauhu, buah tembikai dan keropok2 dan sesudah itu sempat membicarkan hal hubungan dua hala Malaysia-Indonesia. Aku sejak sekian waktu ini seperti menjadi duta atau mediator kedua-dua negara,tanpa perlu menjadi PTD.

Pedoman kata hari 8:

"Masyarakat Riau begitu majemuk, melahirkan kebudayaan majemuk. Melayu menjadi budaya terbuka, mengadopsi budaya luar dengan falsafah "diayak dan ditapis" (yang kasar dibuang yang halus diambil" - Tenas Effendy

maka orang Melayu wajib kekal dengan sifat kosmopolitan, dan jangan sesekali berfikir untuk membuat seperti China Town atau Little India.

Sunday, June 20, 2010

Hari 7: Santai


aksi Brazil dan Pantai Gading di KL Village

Hari minggu adalah hari rehat, maka setelah selesai menghadam indo mee rebus jam 5 pagi, aku ketiduran sampai jam 5 petang lebih. Tidur yang sangat kualiti pasca-hedonis.

Vovin ternyata bangkit lebih awal 2 jam dari aku dan setelah aku bangkit, kami terus ke Ambassador Mall untuk (aku) membeli tiket Air Asia dari Bali ke Jakarta tanggal 2 Julai nanti kerna ternyata ada makwe dari Malaysia akan kubawa jalan2 nanti. Dari mall yang popular kerana koleksi DVD dan CD cetak rompak yang komprehensif, kami menaiki teksi bukan Bluebird ke stesen televisyen propaganda Indonesia, TVRI untuk hadir memberi sokongan kepada band teman, Angsa & Serigala yang tampil bersama beberapa band lain di acara Jamin-TVRI. Sebelumnya sempat ngopi di pondok kawal pejabat Kemeterian Pemuda dan Olahraga yang terletak bersebelahan sambil melihat aksi pak guard yang asik melihat siaran langsung Itali menentang Selandia Baru berbanding kerja, ini contoh terbaik untuk menikmati hidup. Cayalah!


Angsa & Serigala beraksi

Pengalaman berada di beberapa stesen TV Indonesia sebelum ini seperti di Trans TV dan TV One dan sekarang TVRI memberi rasa dan suasana berbeza, tidak seperti di TV3, TV9 dan RTM. TVRI yang dibilang kurang cool dan kurang digemari anak muda di sini ternyata lebih hidup dan supportif tanpa mengeksploitasi scene muzik independen. Boleh menghisap rokok di mana-mana walau aku tidak ngerokok dan krew2 orang tuanya sangat cool. Paling penting TVRI di sini bukan alat propaganda pemerintah seperti RTM di Malaysia yang menggeli gelemankan. Banyak band beza variasi dan genre tampil di sini; Eron & Everyone, Stafan, Larva dan Ray D' Sky di samping dua pembicara yang membahas musik Indonesia, Bens Leo dan Bongky. Menurut aku walaupun muzik arus perdana Indonesia mengalami stagnansi dan berbau Metal (Melayu Total) melulu demi keperluan pasar, jalur-jalur luar arus perdana tetap meriah dan mampu hidup di dalam komunitas mereka sendiri yang relatif besar juga; The SIGIT, Efek Rumah Kaca, Risky Summerbee & Honeythief dan banyak lagi sebagai contoh.

Oh siapa nak menonton stesen tv Indonesia secara langsung, sila layari www.mivo.tv

Bercerita tentang teksi, perkhidmatan di kota ini dibanding KL jauh sangat2 baik dengan teksi tersedia di mana-mana dan hampir semua memakai meter. Kalau dulu teksi warna biru Bluebird sangat popular kerana selamat, terpercaya dan bersih, sekarang ada kompetitor lain seperti Express berwarna putih yang masih memakai tarif lama sedangkan Blurbird memakai tarif baru yang sedikit mahal. Aku juga menilai naik teksi di sini lebih mudah berbanding Singapura yang leceh dengan ketertiban melulu, apatah lagi KL yang haru biru.

Pedoman kata hari 7:

"Seniman tari jangan hanya asyik dalam studio sambil mempercanggih teknik dan properti pentas, tapi kehilangan pertautan dengan dunia luar. Para koreografer mestinya membenturkan diri pada masalah riil di masyarakat" - Afrizal Malna, penyair Indonesia

kata-kata pedoman sesuai buat renungan kita bersama, semua kita yang membikin sesuatu jangan khayal dengan dunia dan lingkungan kita sahaja. Wallahu'alam.

Saturday, June 19, 2010

Hari 6: Bila pekerja seks berbicara politik, maka bersatulah pelacur Kota Jakarta!


Nobie sang Bottlesmoker beraksi


Gig di Jakarta


tim Bottlesmoker

Kecapekan total hari ni. Sadar-sadar udah jam 1 siang. Masakan tidak, aku hanya pulang ke kamar jam 6 pagi WIB (waktu Indonesia barat) setelah capek menulis untuk GOL?, The Malaysian Insider dan blog ini. Beda sekali kalau capek nulis, kagak sama dengan capek fizikal.

Rencana mahu ke pergelaran seni spektakuler di TIM sempena Munas (Musyawarah Nasional) Partai Keadilan Sejahtera dan diskusi Jacque Lacan tentang seksualitas di Salihara terpaksa dibatalkan demi melayani kebutuhan rehat yang maha penting.

Memandangkan kota Jakarta ini memang sangat sulit untuk multi aktiviti dalam tempoh beberapa jam seperti di KL, maka aku memilih untuk bertemu teman2 Bottlesmoker dari Bandung yang manggung di Konsert Adit & Surya, hos MTV Insomniac di Viky Sianipar, Manggarai yang terkenal dengan jembatan hantunya. Bottlesmoker ini aku dan abang aku dari Envelove Distro pernah ngundang tahun lepas untuk tur di Malaysia dan sekali lagi akan mampir ke KL oktober nanti, tunggu ya!

Agak ramai ABG (anak baru gaul) aka budak2 sekolah yang datang ke acara ini untuk menikmati musik atau mungkin mencari pacar, tapi aku percaya lebih pada yang pertama kerna aku perhati sejak lama anak-anak di sini lebih menghargai muzik berbanding pacaran melulu. Semua tim Bottlesmoker ada di sini; Yulius sang manajer hebat, Aris yang baru pacaran, Agam, Botak dan personil band yang digilai ABG, Angkuy dan Nobie.

Acara dikhabarkan mulai agak lewat dan lantaran itu setiap band hanya boleh membawa 2 atau 3 lagu saja untuk memberi peluang kepada band2 lain dan Gugun Blues Shelter mencuri tumpuan dengan persembahan memukau sehingga bassistnya mengindomie goreng sambil baring2 di lantai mosh pit, wah keren bangat! Rupa-rupanya inilah band yang direkomendasi teman Indo di MMU, Yayi untuk diundang ke Malaysia sewaktu mereka ke Singapura beberapa bulan lepas. Memang berbaloi kalau bawak dari segi musik, tapi dari segi kewangan belum tentu kerna belum punya peminat menurut aku di Malaysia. Sayang sekali.

Pengen nunggu satu lagi band yang dikhabar bagus endahNrhesa tidak kedapatan kerna masih agak lama dan ada rencana lain yang sedang menanti. Mungkin lain-lain kali masa ada peluang. Makan jap di warung di seberang jalan sebelum pulang ke hotel murah dan online sebentar dan tidur sekejap. Setakat ni aku belum termakan bakso tikus atau nasi goreng daging anjing, tapi tak tahulah kot-kot dah termakan. Cerita tentang makanan, aku dan Vovin kat sini memang terkena penyakit ketagihan Indo Mee, racun dunia yang sedap dan enak dimakan. Ada satu warung kecil khas Indo Mee rebus dan goreng di Jalan Jaksa yang menurut aku wajib dikunjungi pelancong Malaysia. Salah satu tarikan pelancong di kota ini dan kalau perut jenis murah, tak usah makan sini sebab hanya elit foodies je layak menghadamnya. Makan di mal? sangat2 awal 90an.

Setelah tidur sebentar ditemani lagu Jika Cinta Dia Geisha yang diulang-ulang, aku pun berangkat ke satu lokasi rahsia untuk membuat kajian sosiologi masyarakat dan masalah urbanisme. Hal ini hanya boleh diceritakan pada teman-teman terpilih atas faktor keselamatan.

Sadakollahulazim

Friday, June 18, 2010

Hari 5 - Acha Septriasa bicara politik


Soalan2 gosip


Momen serius


Nanti jangan lupa baca puisi di Pekan Frinjan ya



Hari ni bangun awal siap2 untuk interbiu Acha Septriasa untuk kolum The Malaysian Insider aku edisi jalan-jalan 90 hari. Seperti biasa, aku bangun lebih awal dari Vovin berkat kehidupanku yang kembali berjadual normal.

Siap2 semua sementara menunggu Vovin, aku minum2 dan makan juga lepas tu di KL Village sambil menelefon bakal makwe (?) di Malaysia yang sedang berhadapan masalah. Sebagai lelaki yang 'bertemu tidak jemu, berpisah tak gelisah', aku tanggapi masalah makwe ini dengan rasional dan langsung tidak menunjukkan kemachoan dan sisi seksis :)

Sesudah santap, kami menaiki teksi ke destinasi tujuan iaitu rumah keluarga Acha di Tebet supaya awal dan tidak lewat. Hasilnya kami sampai di sana jam 2 petang, 30 minit awal dari janjian sekaligus berjaya menolak tanggapan bahawa orang Melayu itu tidak menepati janji. Hidup Melayu!

Ibu Acha, Rita Sagitta merangkap pengurus peribadi sang artis menjemput kami duduk sementara menunggu Acha yang baru pulang dari KL menduduki peperiksaan akhir semester turun mengadap kami. Sesi yang awalnya direncana di lokasi syuting filem dibikin di rumah Acha yang serba mewah setelah jadual syuting ditunda sekaligus memberi kesempatan kepada aku untuk bertanya banyak soalan. Interbiu bersama Acha Septriasa yang membicarakan soal sosial politik, dinamika hubungan Malaysia-Indonesia dan pornografi akan disiarkan di The Malaysian Insider kelak. Apa yang pasti tiada soalan tentang pacaran dan sampah2 lain yang boleh dibaca di Hai, Pancaindera dan sekutu2 mereka.

Apa yang pasti, Acha dengan filem2 dan lagu2 cinta biasanya tidak sama jika diperbandingkan jawaban2 beliau. Bayangkan jika Siti Nurhaliza berbicara politik? ya ampun. Walau mungkin tidak secerdas jawapan Dian Sastro, aku berjaya juga mengorek sisi intelektual beliau yang popular dengan lagu duet bersama Irwansyah, 'Heart' dan 'Berdua Lebih Baik'. Agaknya ada tak selebriti Malaysia setaraf karya Acha (lagu2 putus cinta) bisa mengungkap persoalan2 yang dihadapi bangsa kita?

Sesudah terpesona dengan kepetahan Acha berbicara dan juga kemanisan wajahnya yang bisa bikin aku panasaran, kami sempat singgah ke pejabat parti Megawati, Partai Demokrasi Indonesia - Perjuangan (PDI-P) bahagian Jakarta untuk melihat pameran foto Bung Karno sempena bulan khas beliau, Juni. Nasib baik aku bukan orang Indonesia, jika tidak aku mahu bilang sudahlah beromantisma dengan masa lampau, buatlah kerja dan bangunkan bangsa kamu.

Kemudian singgah sebentar di pusat sewaan filem independen dan festival, Indies Jakarta milik teman, Wim Prihanto yang tidak jauh lokasinya dari rumah Acha. Oleh kerana Wim sedang mengajar di Bogor, kami hanya lihat2 dan Vovin sempat membeli dua buah DVD. Pasca-lawatan kami bertekad untuk merealisasikan pusat seperti ini di KL/Selangor nanti dan Insya Allah akan bermula di kedai UYA di Subang Jaya.

Setelah itu berjalan kaki ke Galeri Seni Ruang Rupa (RuRu)yang juga tempat melepak anak2 band independen seperti White Shoes dan The Upstairs serta penggiat2 seni aliran alternatif/bebas. Tiada pameran sedang dilangsungkan dan sempat berkongsi2 cerita, acara dan kemaskini berita semasa dengan penjaga Ru Ru yang aku lupa namanya.

Seterusnya kami menuju ke Pekan Raya Jakarta yang sedang berlangsung Jakarta Fair 2010 selama satu bulan. Hajat sebenar mahu bertemu teman, Isra yang juga manajer band arus perdana Geisha yang sedang naik daun di sana berbincang beberapa hal. Dijadikan cerita aku tak dapat nak hubung dia sejak semalam dan aku nekadkan diri untuk ke sana juga. Awalnya cubaan untuk menerjah masuk ke khemah artis tidak berjaya kerana tiada pas dan tidak seperti Pekan Frinjan, ini acara besar dengan pentas yang maha besar dan sistem bunyi dan visual yang baik. Maka, kami duduk melayan aksi Jerman dan Serbia yang ditayang di pentas utama/konsert sebelum hujan lebat turun sesudah selesai 93 minit. Ramai sekali manusia Indonesia yang melayani aksi peringkat kumpulan berdasarkan pemerhatian setakat ini.

Tamat melayan lagu2 cinta dan omongan jiwang Momo, sang vokalis Geisha yang boleh tahan comel walau agak ngerock dan Sheila on 7, kami bergegas pulang dengan harapan tertemu Isra dan anak2 band. Seperti di dalam filem2 yang banyak babak tidak sengaja dan dianggap tidak logik, aku bertemu juga Isra di luar dan di saat mereka hendak pulang dan tepat tekaan aku, blackberry atau bbnya Isra hilang. Geisha yang menurut aku bagus juga walau lagunya cinta melulu dijadualkan ke Malaysia tanggal 24 Jun tetapi telah ditunda ke hujung tahun atas2 sebab teknikal.


macam aksi finale


Momo vokalis Geisha

Habis cinta melulu yang kadang2 perlu, kami naik teksi lagi menuju Plaza Semanggi untuk bertemu penyair muda Malaysia, Mimi Morticia yang sedang karaoke bersama2 doktor fetish mayat lainnya :)

Foto kredit pada Vovin yang menjadi jurugambar rasmi, lebih foto di facebook beliau

Hari 4 - Gabenor Jakarta! Hang buat apa?

Nombor 4 dalam budaya Cina, Korea dan Jepang adalah angka yang kurang bawa tuah sebab bunyinya seperti kematian. Maka untuk dijadikan cerita, hari ke 4 tanpa monarki boleh dibilang hampir sama, cuma tidaklah sampai tiada tuah dan menuju kematian.

Begini. Kalau di KL ada LRT dan Monorel yang masih tak integrasi, di Singapura ada MRT yang integrasi dan begitu juga di Bangkok ada Skytrain dan Metro yang lumayan integrasi juga. Jakarta juga tidak kalah dengan adanya Transjakarta atau lebih glamer, busway, sistem angkutan umum berbasis bas dan mempunyai lorong khas yang dipisahkan dengan penghadang jalan konkrit dalam kota yang sangat integrasi dengan sistem tiket tunggal dan memiliki jalur terbanyak dan terpanjang. Indonesia Bisa!

Projek kebanggaan bekas Gabenor Jakarta, Sutiyoso ini pada awalnya boleh dibanggakan (aku pertama kali naik hujung 2004,), dan walaupun dengan percambahan banyak jalur dan peningkatan jumlah penumpang, sikap acuh tak acuh pengurusan Transjakarta dan kurang kerjasama polis dan pentadbir kota menyebabkan bas tidak mengikit jadual dan lorong khas diinvasi kenderaan2 lain, contoh klasik masyarakat tidak berdisiplin. Walaupun Dian Sastro pernah melakonkan watak penjaga kaunter tiket busway di filem Ungu Violet, itu tidak menghalang Sutiyoso sendiri dari membilang busway gagal sepenuhnya untuk tujuan mengurangkan kemacetan.

Di sisi negatif, trafik di Jakarta memang bikin pusing dan gila bagi rakyat Malaysia dan cacat total untuk Singapura. Namun di sisi positif aku melihat masyarakat Jakarta mempunyai daya kesabaran tinggi walaupun hati siapa yang tahu dan hal ini membikin mereka menjadi lebih kuat secara mental dan fizikal ketimbang rakyat di jajahan British.

Kembali kepada cerita kurang sedap yang aku dan Vovin alami. Kami menunggu busway ke Lebak Bulus untuk tujuan Pondok Indah Mall di stesen transit, Harmoni kira-kira setengah jam dan setelah itu berdiri sebelum pertukaran bas sekali lagi dan kali ini hampir sejam menunggu sambil mencarut di dalam hati. Kemudian hampir 45 minit lagi berdiri di dalam bas yang macam tong sardin dan total semua, 2 jam 30 minit berdiri tanpa henti. Memang capek. Namun seperti wira2 negara di kapal flotilla yang diserang tentera Israel, pengalaman ini menimbulkan rasa insaf terhadap penderitaan pengguna busway Jakarta sehari-hari.

Sampai di Pondok Indah, aku jumpa teman cewek mahasiswa anarkis punk yang kerja menyara diri di Starbucks berkongsi-kongsi cerita sebelum labon diteruskan di kafe sinema yang menayangkan aksi langsung Korea Selatan dan Argentina. Meriah sekali di sini apabila orang2 kaya yang mundar-mandir di mal ini turut sama mencemar duli kekayaan dengan berperangai penyokong bola sepak Selangor. Bola sepak untuk semua!

Sesudah itu menaiki angkutan umum yang cekap, bas mini ke Blok M sebelum bersambung ke Sarinah bertemu Black untuk menikmati hidangan nasi goreng kambing kebon sirih yang enak dan diskusi panjang sesudah itu. Oh lupa, bas mini walau serba daif sangat sesuai untuk pelancong Malaysia menikmatinya.

Diskusi panjang menghasilkan satu keazaman tinggi untuk meneruskan dengan giat usaha menyebar seni ke seluruh rakyat, memperbanyakkan lagi aktiviti susulan pasca-Pekan Frinjan dan memperkuatkan seni budaya berbahasa kebangsaan.

Wednesday, June 16, 2010

Hari 3: Hujan marahlah, sempurna untuk tidur



Masuk hari tilu mood kembali santai dan tidak ada pertemuan diatur untuk borak-borak, kepenatan 12 jam ngobrol tanpa henti masih dirasai dan otak masih bekerja menghadam dan menafsir perkara-perkara yang diperbincang semalam. Salah satu yang membikin bungkam kepala adalah kesalahfahaman yang terjadi di Malaysia tatkala elemen politik dibicarakan dan diwacanakan, seolah-olah politik itu hanya parti politik walhal maknanya lebih luas. Lebih menghampakan, generasi anak muda konon penuh dengan maklumat di dada pun terperangkap sama. Jelas ramai yang menonton porno tidak berjaya melepasi politik pornografi itu sendiri, generasi 3gp atau gagal politik. Hal ini akan aku ulas secara lebih lanjut di kolum The Malaysian Insider.

Hujan yang marah sentiasa di Jakarta di awal-awal pagi menghadirkan mood sempurna untuk bergelumang dengan selimut di bilik tanpa penghawa dingin dan sederhana sifatnya. Jakarta yang aku kenali sejak 2004 banyak memberi memori indah dan walau dengan serba serabut dan huru-hara kotanya, aku tetap suka karakter Jakarta. Menyukai kota ini tidak menghilangkan kecintaanku terhadap KL dan Lembah Klang dan keperluan untuk rasa bersyukur melulu lantas menghilangkan analisa kontekstual.

Sesudah santapan tengahari ala padang, kami (aku dan Vovin) menaiki bas mini yang dikendala secara primitif ke Blok M, daerah belanja di siang hari dan pelacuran di malam hari. Kalau pernah menonton filem Ada Apa Dengan Cinta, ada satu adegan Cinta (Dian Sastro) dan Rangga (Nicholas Saputra) di tepian jalan penuh dengan buku terpakai, itu nama lokasinya Kwitang dan kebanyakan peniaga sudah dipindahkan ke Blok M Square di tingkat bawah tanah. Nama rasmi tingkat ini ialah Bursa Buku. Bercerita tentang Dian Sastro yang sentiasa aku dambai, pengurusnya menelefon aku setelah maghrib membawa khabar duka bahawa sesi interbiu yang direncana tidak dapat dilakukan kerana Dian yang kucintai dan baru sahaja berkahwin sedang berbulan madu dan hanya pulang setelah aku sudah beberapa dijangka meninggalkan kota Jakarta. Satu kenyataan pilu, hehe. Tapi hasil interbiu melalui emel akan diterbitkan selepas raya di zine Asid keluaran khas nanti, tunggu saja.

Putar-putar di Blok M ke toko cd, buku dan lihat-lihat jadual wayang mana tahu filem Menculik Miyabi masih ditayangkan. Setelah agak penat, kami minum sebentar menghirup udara tak segar sebelum menaiki bas mini primitif dan mengharungi jam pulang kerja Jakarta yang melemaskan juga ke Bundaran Hotel Indonesia (H.I), lokasi popular untuk pelancongan demonstrasi kerana aksi protes sering digelar di sini. Bundaran H.I ialah sebuah bulatan besar dan ditengah-tengahnya air memancut segar dan cantik juga sambil Plaza Grand Indonesia, Hotel Nikko, Hotel Manadarin Oriental dan Hotel Indoensia mengawal keberadaannya. Demonstran baju merah Thailand pasti suka tempat ini. Lokasi ini juga popular di kalangan kaki ambil gambar dan kami pun termasuk di dalamnya menghabiskan sedikit masa di sini memotret.

Destinasi tujuan seterusnya Taman Ismail Marzuki (TIM), port seni menjenguk-jenguk acara apa yang boleh disertai dan ternyata banyak acara akan dilangsungkan beberapa hari mendatang. Sedang berlangsung adalah Pesta Tari Indonesia ke 10 dan khabarnya orang kuat Annexe Gallery, Pang dan Jerome juga ada di sini menghadiri program.

Sebelumnya, kami makan sate agung di Sabang yang popular. Sebab apa aku tak tahu, tetapi setelah makan satenya biasa-biasa aja kecuali kuahnya yang lumayan sedap. Kami tidak lama di sini dan sempat menonton aksi Honduras menentang Chile di toko bukunya untuk diulas bagi projek GOL?.

Tak lama kemudian kami pulang ke Jalan Jaksa setelah bermesra-mesra dengan ibu kucing dan anaknya yang kawaii.

Pedoman kata hari 3:

aku bawain lagu Melayu karena pasar musik Indonesia sangat suka dengan lagu mellow yang mendayu-dayu. Jadi aku coba masuk ke sana agar lebih akrab dengan pasar Indonesia - Judika Sihotang, 14 Jun 2010

Tuesday, June 15, 2010

Hari 2: Politik adalah tipu menipu



Hari kedua boleh diandaikan seperti sesi 12 jam marathon ngobrol tanpa henti. Cuaca mendung dan angin sepoi-sepoi bahasa Indonesia dek kerana hujan yang marah2 membuatkan lenaku terpanjang dari biasa walau tidak hadir mimpi2 yang indah seperti yang dipinta.

Runut bunyi malam pertama dengan mp3 Sony baru adalah lagu-lagu nasyid Brothers dan Nadamurni, bukan kerana keteguhan iman dan amal soleh yang banyak tetapi kerna ada romantismenya di situ.

Ngobrol pertama berlaku dari jam 12 tengah hari sampai sekitar 3 petang berlokasi di Sabang ditemani masakan sunda bermenukan ikan gurameh, telur dadar dan sayur kailan. Tamu kehormat adalah aktivis politik dan pemikir muda, Black dan Aqil kedua-duanya dari KL yang sedang berfellowship Asian Public Intellectuals di Jakarta.

Black atau nama Islamnya, Amin Iskandar membuat kajian tentang pengawasan pemilu semasa rejim otoriter Marcos di Filipina dan Soeharto di Indonesia. Blog Black boleh dilayari di http://www.aminiskandar.com

Aqil pula adalah editor Ummahonline.com yang memfokuskan pada kajian pengaruh Iran di Indonesia. Lanjut kena tanya dia sendiri.

Sembang kencang 4 orang jejaka belum berkahwin dan bebas komitmen ini pastinya tidak dapat lari politik Malaysia dan perbandingan dengan politik Indonesia, dan wajib ada nada keluh kesah dengan apa yang terjadi di Malaysia baik di pihak baik, Barisan Nasional mahupun pihak jahat, Pakatan Rakyat. Perincian lain hanya akan dapat diceritakan di memoir bila rasa dah nak mati nanti, kalau cerita sekarang dah tak suspen dan menjadi rahsia lagi dan buku tak laku nanti, kasihan Oxygen Media.

Selesai kerja memeningkan kepala, aku dan Vovin singgah di warnet, singkatan kepada warung internet atau cybercafe kalau di Malaysia, negara yang rakyatnya berbangga kembang hidung tatkala bisa kecek English. Satu-satunya di dunia, Malaysia Boleh!

Tak lama kemudian, teman pemotoran dan kemudian teman bidang2 lain, Tyaz cewek dari Malang menjadi tamu kehormat kami pula dan kali ini berlokasi di Tony Jacks di Sarinah, hanya berjalan kaki sahaja dari lokasi pertama dan ini tidak bisa terjadi di Malaysia yang ramai menggilai Tuhan bernama kereta pembunuh massa. Slot hampir 2 jam terisi penuh dengan gosip2, canda tawa dan pastinya Luna Mayaku.

Tamu ketiga adalah manajer band Efek Rumah Kaca dan pemilik label musik independen Jangan Marah Records serpihan dari Aksara yang tutup kedai, Yuri yang membilang dirinya sosialis dan lokasinya tepat di KL Village. Bertemankan segelas teh tarik yang tak kalah rasanya kalau diletak di sebelah Restoran Jamal Seksyen 14 PJ, cerita2 politik meghiasi babak keseluruhan pertemuan 6 mata ini dan disudahi dengan kisah Luna Mayaku. Topik wajib dan in-thing sekarang.

Terakhir aku dan Vovin bertemu Black semula di satu lokasi rahsia dan bertolak menuju Doekon Cafe di Pancoran, tempat nongkrong (lepak) oposisinya Indonesia milik Haris Rusli Moti, Ketua Forum Kepemimpinan Pemuda Indonesia yang juga mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik.

Memang meriah lepak dengan Haris yang hebat skil pidato dan analisa politik lokal dan serantau diselang seli dengan kelucuannya tingkahnya. Rupa-rupanya dialah moderator dalam diskusi peluncuran buku Membongkar Gurita Cikeas 30 Desember 2009 yang sedikit kecoh dan buku itu sempat memicu kemarahan Presiden SBY yang suka berdandan.

Idea asal untuk lepak dengan Fendry, aktivis media di Jaringan Videomaker Independen di suatu lokasi maksiat terpaksa dipindahkan ke sini kerana di cafe ini ditayangkan perlawanan bola sepak Piala Dunia di antara Ivory Coast dan Portugal di layar besar, menariknya semua yang menonton adalah aktivis2, haha.

Petang pening dan malam pun pening dengan macam2 masalah yang dihadapi bangsa ini, bangsa Asia yang sama sahaja coraknya. Maka untuk menghilangkan rasa yang tidak seronok itu, perbincangan ditamatkan dan fokus terarah ke perlawanan di antara komunis Korea Utara dan sosialis Brazil yang berkesudahan sosialis menang 2-1, kompromi atas nama solidariti kiri yang bijak untuk mengelabui kapitalis2 Astro dan kaki judi.

Pedoman kata hari 2:

"Raja identik dengan sampah" - Haris Rusli Moti
"Politik adalah tipu menipu" - Haris gak yang cakap ni

Monday, June 14, 2010

Hari 1: Luna Maya di sisiku

Sampai-sampai bandara, Luna Maya sudah menyambutku. Aku bilang jangan tertekan dan kena banyakkan sabar untuk mengharungi dugaan ini, ambil Akiho Yoshizawa dan Maria Ozawa sebagai pedoman nescaya akan positif. Dia angguk dan terima tanda setuju.

Aku yang baru bergelar Dato' Seri kurniaan sultan antah berantah terpaksa melarikan diri dari tanah air tercinta, Malaysia ke tanah buang air tercinta, Indonesia akibat skandal ini. Bukan kerana malu, tetapi lebih untuk menjaga aib sultan antah berantah yang sesuci nabi. Maka aku memulangkan semula darjah yang tak sampai berapa jam aku pakai di profil facebook kepada sultan antah berantah melalui facebook juga. Siap cc kepada beberapa rakan sebagai bukti saksi pemulangan.

Sepanjang perjalanan dari bandara ke Gambir, stesen keretapi ala-ala pusat kononnya. Luna Maya bertanya, 'Mas, lewat Kemayoran ga?', pantas aku jawab, "ga, langsung ke Gambir, kalau mau ke Kemayoran, harus ambil taksi atau ojek di sana, ga terlalu jauh ke sana'. Sesudah itu senyap.

Dari Gambir, aku menaiki ojek ke Jalan Jaksa, markas aku dan lelaki Ipoh bernama Vovin selama seminggu untuk melancarkan perang saraf ke atas negara Malaysia. Ojek ni benda yang wajib ada di Malaysia kerana fungsinya sangat bagus untuk memudahkan perjalanan jarak dekat dan rentas kemacetan (kesesakan).

Untuk yang belum tahu, ojek ni sejenis angkutan umum yang menggunakan motorsikal sebagai teksi. Bayangkan mat-mat rempit mejadi tukang ojek, habis kena rogol semua wanita cantik. Sebab itu ojek tidak ada di Malaysia kerana lelaki-lelaki setaraf ojek di sana semuanya tak pandai kontrol kote mereka.

Persiapan untuk trip ini agak huru-hara kerana kerja-kerja pra-trip yang bertimbun2 dan lantaran itu aku tertinggal beberapa benda yang sepatutnya dibawa bersama. Salah satu kad SIM Telkomsel peneman setia di Republik Indonesia yang berusia lebih setahun sudah. Akibatnya aku terus saja menerjah ke hotel yang aku dan Vovin persetujui untuk berjumpa dan semuanya berjalan seperti skrip; Vovin terbungkam tidur.

Letak barang, kencing, caj mp3 Sony baru peneman tidur, kami ke gerai makan di luar untuk santapan pertama aku hari ni. Lumayan murah 10,000 rupiah untuk ikan nila, nasi putih dan teh hangat sebelum melepakkan diri di KL Village menonton aksi benua Asia yang pendek alat kelamin menentang benua Afrika yang sebaliknya. Siapa kata Afrika hebat di ranjang? Nah, Jepun menang 1-0 ke atas Cameroon. Patutlah Maria Ozawa, Akiho Yoshizawa dan Erika Sato boleh meneruskan kelangsungan hidup di bumi Jepun kerna lelaki Jepun sama dan mungkin lebih gagah walau terlihat jelas pervert.

Selesai hari pertama.

Terima kasih kepada Beeha dan Zuzue yang sudi menghantar aku ke bandara Malaysia. Selamat tinggal Juliana Evans!

Pasca-tulis

Sambil melayari bahtera internet, warnet ini tercemar dengan lagu Rahmat, Ukays dan seangkatan di tengah2 lagu2 Iwan Fals, haha. Siap sing along lagi dari pekerja warnet.

Namun tak pernah ku jawab.....bukannya aku tak tegar, bukan aku pula aku tak cinta.....

Ah, ini bikin aku rindu dendam sama seseorang.